Malam ini aku teringat, seorang guru waktu di MDA (Madrasah Diniyah Awaliyah, aku dan teman-teman menyebutnya ngaji sore) dulu. Juwairiyah nama aslinya, tapi lebih dikenal dengan nama panggilannya 'Cik Jur'. Dia suka bilang kalau belajar itu ibarat perang, dan buku adalah senjatanya. Coba bayangkan perang tanpa senjata! Kau akan duluan kalah, duluan mati! Tiap kata-katanya sangat membekas bagiku. Meski para murid MDA dulu selalu menjulukinya 'cik cerewet', tapi aku tidak! Kurasa dia berlaku wajar sebagaimana perlakuan guru terhadap murid. Dia tegas, disiplin, suka menegur yang salah. Ada kebiasaannya yang unik. Suka menulis dengan aksara Arab-Melayu. Tanda tangannya juga Arab-Melayu. Tiap pembagian rapor, dia pasti mempersiapkan hadiah untuk muridnya yang rangking 1, 2, 3, dan murid yang absensinya bersih. Hadiahnya dibungkus kertas warna coklat, dituliskannya di kertas itu nama murid peraih hadiah, ya, tulis tangan, pakai Arab-Melayu. Dulu aku selalu kagum, bukan main! tulisannya selalu cantik!. Oiya, aku adalah salah satu penerima hadiah itu.
Aku masih ingat ponten-ponten di buku imla'-ku selalu dihiasi angka 8 darinya, minimal 8 minus. Tapi jangan tanya buku alkhot-ku, sangat jarang dapat ponten 7, rata-rata 7 minus, bahkan ada yang ponten 6! Awalnya dulu, aku kesal! Dalam hati, aku anggap dia pelit ngasih nilai alkhot. Anggapanku berubah ketika lamat-lamat kuperhatikan hasil alkhot abangku (dulu aku sempat sekelas dengan abangku) yang selalu dapat ponten 8 darinya, kubandingkan, jelas sekali hasil karya abangku lebih bagus dari punyaku. Ah, sudahlah! Aku memang tak berbakat dalam dunia per-alkhot-an!
Masih ada sesalku untuk diri sendiri. Mengapa aku tak menuruti harapan Cik Jur dulu. Kau tahu harapannya? Dia ingin, setamat SMA, aku jadi pengajar di MDA tempatnya mengajar dulu. Hanya harapan sederhana dari seorang pendidik terhadap muridnya. Tapi apa yang kulakukan? Kau mau tahu? Aku patahkan harapannya itu. Dulu, di kelas terakhir MDA, bertepatan dengan aku masuk SMP. Aku tergila-gila ikut organisasi pramuka. Aku jarang masuk kelas MDA. Ya, ngaji soreku bolos-bolos. Ujian pun aku tak datang! Setahun berlalu, kawan-kawan sekelasku sudah tamat, dapat ijazah MDA. Aku cuek saja. Ah! Tak penting!, begitu pikirku. Siapa pula peduli?
Ternyata Cik Jur peduli, sangat peduli. Dia datangi rumahku, bicara dengan orangtuaku. Membujuk agar aku selesaikan MDA-ku. Dia utarakan harapan-harapannya untukku, dido'akannya agar kelak aku menjadi guru di MDA itu. "Janganlah karena belajar ilmu yang umum, ilmu agamanya ditinggalkan", begitu dia bilang. Dia juga tawarkan bebas SPP sampai aku selesaikan pendidikan di MDA. Tapi apa yang kubuat? Aku masa bodoh! Awalnya aku pergi juga ke MDA, belajar seperti biasa. Tapi lagi-lagi, aku bolos lagi dan lagi. Dia datangi ke rumahku lagi, bicara lagi, bujuk lagi. Tapi aku seolah mati rasa. Tak sedikit pun tergerak hati. Ya, akhirnya tidak tamat juga. Jelas saja, aku malu tiap bertemu dengannya di jalan. Inginnya, sih, menghindar, tapi ga bisa, ya tetap kusapa juga, dengan muka yang setebal kulit badak kurasa.
Kulalui hari, tahun-tahun berlalu. Tamat SMA, aku sibuk cari-cari kerja. Kuliah? Apa daya, orangtua bukan orang berpunya. Sedikit rezeki, sambil kerja aku daftar kuliah. Pendidikan Biologi kuambil jurusannya. Apa dinyana? stuck biaya, sikon tak mendukung. Hidup memang susah. Jam kerja pun bertabrakan dengan jadwal kuliah. Harus memilih, kuliah atau kerja? Apa mau dikata, ya, berhentilah sudah. Pupus harapan dapat ijazah sarjana. Aku teringat Cik Jur, merasa ada yang salah. Lebih tepatnya merasa bersalah. Kalau dulu aku tamat MDA, mungkin sekarang aku sudah ngajar di MDA, bahkan aku bisa sambil kuliah. Kalau dulu... kalau dulu... Ah! Sudahlah! Waktu itu aku bertekad, kalau aku jadi sarjana aku akan datang ke rumah Cik Jur, meminta maaf dan berterimakasih padanya.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar