Sejak ilmu
pengetahuan memisahkan dirinya dari filsafat sebagai induknya, tersisa dua
bidang yang tetap melekat pada filsafat bahkan menjadi inti pembahasannya. Pertama,
apa yang dapat diketahui?, dan kedua, apa yang harus dikerjakan? Jauh
sebelum agama islam hadir hingga masa kontemporer dewasa ini, permasalahan
yang melulu dibahas dalam lapangan kefilsafatan berkisar pada tiga realitas
pokok persoalan yang dibahas oleh manusia sehubungan dengan inti
pembahasannya tersebut, yaitu persoalan alam, persoalan manusia, dan
persoalan tentang Tuhan.
|
|||
Judul buku
Penulis
Penerbit
Tahun terbit
Tebal buku
|
:
:
:
:
|
Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat
Prof. Dr. Zakiah Daradjat, dkk
Depag RI.
2001
xvi + 155
|
|
Manusia dengan
naluri suka bertanya terus berusaha mencari jawaban-jawaban atas
keingintahuannya dan mendorongnya untuk menggunakan anugerah Sang Khalik berupa
akal. Akal menjadi embrio ilmu pengetahuan sains yang dikenal sebagai ilmiah.
Adalah suatu kepastian bahwa produk pemikiran akal manusia berifat nisbi
(relatif). Ia selalu terbatas, tidak mutlak. Berbarengan dengan kebenaran
ilmiah, didapati pula bahwa kebenaran falsafah adalah bersifat spekulatif, tidak
bisa dibuktikan secara empiris. Lalu pertanyaannya, dimanakah kebenaran yang
sesungguhnya?.
Buku
Islam Untuk Disiplin Ilmu (IDI) Filsafat ini merincikan bahwa manusia
memerlukan pegangan yang bersifat absolut kebenarannya yaitu agama. Dikatakan
absolut kebenarannya karena agama (Islam) datang dari Dzat yang absolut
(Al-Haqq). Sejalan dengan tujuan IDI sendiri untuk membuktikan kebenaran agama
dalam disiplin ilmu, buku ini berhasil menyajikan teori, dalil, dan silogisme
berpikir bahwa akal sebagai ratio dan falsafah sebagai proses mencari
kebenaran hanyalah berupa instrument dan bukan pedoman mutlak untuk
mencapai kebenaran. Melainkan wahyu sebagai firman-Nya-lah yang menjadi
kebenaran mutlak, sebab ia bersumber langsung dari Dzat Yang Maha Mutlak.
Adalah suatu keharusan, bahwa sesuatu yang berasal dari Yang Maha Mutlak pasti
bersifat mutklak pula.
Bukan
berarti Islam mengabaikan penggunaaan akal, dalam buku yang disusun dan
diterbitkan oleh Depag RI ini dijelaskan bahwa bahkan agama ini menganjurkan
agar umatnya memberdayakan akal, ratio, budi, nous, reason,
atau mind yang kesemuanya itu diidentikkan dengan rasa (dzauq) guna mempelajari,
meneliti, dan mengkaji ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat Qur’aniyah maupun
ayat-ayat Kauniyah. Kesemuanya ini bertujuan tidak lain dan tidak bukan adalah
untuk mencapai tujuan hidup manusia itu sendiri, yakni menggapai ridha Allah,
dengan menjalankan fungsinya sebagai khalifah fil ardh.
Benarlah
buku IDI ini berupaya untuk mem-present pengajaran agama Islam yang
dikaitkan dengan disiplin ilmu, yang dalam hal ini disiplin ilmu filsafat. Dilatarbelakangi
oleh adanya kegelisahan akan perenungan studi islam itu sendiri yang dirasakan
telah kehilangan ruh spiritnya. Apakah ia sebagai obyek keilmuan ataukah hanya
sekadar dijadikan pandangan hidup?. Idealnya dalam orientasi pendidikan, kedua
sudut pandang tadi diformulasikan dalam buku ini sebagai strategi yang tidak
hanya bertujuan meningkatkan pengamalan religiusitas namun juga peningkatan
keilmuan Islam. Meski dalam penyusunannya masih terdapat kekurangan-kekurangan
dalam penyajian isinya (pada bab II h. 22-27, terdapat nama-nama filosof muslim
yang mengemukakan dalil-dalil tentang eksistensi Allah, dari lima nama filsuf
yang dituliskan, hanya dalil dari dua orang filsuf saja yang dicantumkan,
sedangkan tiga lainnya tidak. Alangkah lebih lengkap lagi bila ditambahkan
seorang filsuf illuminasionist yakni Suhrawardi al-Maqtul sebagai pendiri
mazhab ketiga dalam filsafat Islam beserta dalil-dalilnya), penulisan hadis
Nabi Saw dalam aksara Arab yang hurufnya terbalik-balik dan terkesan rancu (h. 80), dan
penulisan beberapa kata yang juga belum sempurna di beberapa halaman, namun
penyusunan materi dalam buku ini secara umum dianggap sistematis dan
terstruktur dengan baik. Lebih dari pada itu, buku ini kiranya merupakan upaya
gerakan kembali pada Alquran dengan pendekatan yang lebih ilmiah dan
multidisipliner pada tingkat perguruan tinggi umum yang patut diapresiasi. Penegasannya
adalah bahwa untuk mencapai kebenaran sejati bukanlah dengan akal an sich.
Kebenaran logika, kebenaran verbal, dan kebenaran material ternyata harus
dibingkai oleh kebenaran wahyu yang mutlak. Sehingga, meminjam perkataan Komaruddin Hidayat, kita mampu belajar beragama bukan hanya belajar tentang
agama.
Komentar
Posting Komentar