Langsung ke konten utama

TEORI BELAJAR HUMANISTIK

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri setiap individu manusia sepanjang hidupnya. Proses belajar itu sendiri terjadi karena adanya interaksi antara seorang individu dengan lingkungannya. Oleh sebab itu, belajar dapat terjadi kapan dan dimana saja.
Pada awalnya, upaya untuk memahami tentang proses belajar adalah dengan cara tradisional yakni didasarkan pada pengalaman. Selain itu dapat pula didasarkan pada pemahaman filsafat. Dalam hal ini, pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman filsafat idealisme Plato dan realisme Aristoteles. Plato berpendapat bahwa segala pengetahuan itu diwariskan dan merupakan komponen natural, sedangkan Aristoteles sebaliknya, meyakini bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi dan tidak diwariskan (Hegerhahn dan Olson, 2009: 30). Kemudian dalam tahapan perkembangannya, upaya untuk memahami tentang proses belajar lebih mendekatkan diri pada ranah psikologi yang berfokus pada kesadaran dan proses mental.
Para ahli psikologi mulai mengadakan penelitian eksperimental tentang teori belajar pada saat memasuki abad ke-19 dengan menggunakan binatang sebagai objek penelitiannya. Pada saat itu penggunaan binatang sebagai objek penelitian didasarkan pada pemikiran apabila binatang yang kecerdasannya dianggap rendah dapat melakukan eksperimen teori belajar, maka sudah dapat dipastikan bahwa eksperimen tersebut juga dapat berlaku bahkan kermungkinan akan lebih berhasil pada manusia yang jelas lebih cerdas daripada binatang. Selanjutnya eksperimen tidak hanya dilakukan dengan binatang sebagai objeknya, melainkan mulai menjadikan manusia sebagai objeknya.
Berdasarkan eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh ahli-ahli psikologi ini memunculkan beberapa teori atau aliran. Salah satu yang terkenal dari beberapa teori tersebut adalah teori belajar humanistik. Teori belajar humanistik lebih menekankan pada ‘’isi’’ atau apa yang dipelajari. Sebagian ahli menganggap bahwa teori belajar humanistik ini dapat dijadikan alternatif dari teori-teori belajar yang telah ada. Sementara sebagian yang lain menganggapnya sebagai pelengkap teori-teori yang telah ada.

B.   Pembatasan Istilah
Agar pembahasan dalam makalah ini tidak menyimpang, maka pemakalah membatasi istilah pada:
1.    Pengertian teori belajar humanistik
2.    Awal munculnya istilah humanistik
3.    Belajar dalam pandangan humanistik
4.    Tokoh-tokoh humanistik
5.    Tugas guru dalam teori belajar humanistik
6.    Permasalahan dalam teori belajar humanistik

C.   Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.    Apa pengertian teori belajar humanistik?
2.    Kapan dan bagaimana awal munculnya istilah humanistik?
3.    Bagaimanakah belajar dalam pandangan humanistik?
4.    Siapa sajakah tokoh-tokoh humanistik?
5.    Apa tugas guru dalam teori belajar humanistik?
6.    Apa permasalahan dalam teori belajar humanistik?


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Teori Belajar Humanistik
Teori belajar humanistik, terdiri dari tiga suku kata, teori, belajar, dan humanistik. Untuk memahaminya akan diuraikan pengertian dari masing-masing suku kata tersebut.
Teori ialah sebuah sistem dalil-dalil atau sebuah rangkaian terpadu antar dalil. (Ihalauw, 2000: 92).
Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan untuk mengadakan perubahan di dalam diri seseorang, mencakup; perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan dan sebagainya. (Mardianto, 2012: 46).
Humanistik, kata dasarnya adalah human, yang secara sederhana diartikan sebagai manusia. Dalam Wikipedia, dijelaskan bahwa humanistik adalah aliran dalam psikologi yang secara eksplisit memberikan perhatian pada dimensi manusia dari psikologi dan konteks manusia dalam pengembangan teori psikologis.(https://id.wikipedia.org/wiki/Humanistik?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C2557366532).
 hemat pemakalah, teori belajar humanistik adalah rangkaian terpadu antar dalil yang membahas mengenai kegiatan untuk melakukan perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan dan sebagainya dalam dimensi dan konteks manusia.

B.    Awal Munculnya Istilah Humanistik
Pada akhir tahun 1940-an muncullah suatu perspektif psikologi baru. Orang-orang yang terlibat dalam penerapan psikologilah yang berjasa dalam perkembangan ini, seperti ahli-ahli psikologi klinik, pekerja-pekerja sosial, dan konselor, bukan merupakan hasil penelitian dalam proses belajar. Gerakan ini berkembang dan kemudiasn dikenal sebagai psikologi humanis, eksestransial, perseptual, atau fenomenologikal. Psikologi ini berusaha untuk memahami perilaku seseorang dari sudut pandang si pelaku atau behaver, bukan dari sudut pandang pengamat atau observer. (Dalyono, 1997: 43).

Selanjutnya pada tahun 1960 sampai 1970, aliran humanistik ini dikenal dalam dunia pendidikan dan mengalami perubahan-perubahan dan inovasi selama dekade terakhir pada abad ke-20. (Dalyono, 1997: 44).
Selaras dengan hal itu, Al Rasyidin dan Wahyudin menuliskan bahwa pada awal tahun 1960-an sekelompok ahli psikologi memperkenalkan istilah humanistik (humanistic psychology). Kelompok ini dipimpin oleh Abraham H. Maslow dan dijadikan sebagai pencarian alternatif dari dua teori yang sangat berpengaruh atas pemikiran intelektual dalam psikologi, yaitu behaviorism dan psikoanalisa. Humanistik dipandang sebagai a third force (kekuatan ketiga), karena muncul sebagai kritik atas anggapan mengenai  manusia yang mekanistik dalam teori behaviorism dan pesimistik dalam teori psikoanalisa.  (Al Rasyidin dan Wahyudin, 2011: 44).

C.    Belajar dalam Pandangan Humanistik
Proses belajar dalam pandangan humanistik harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Teori ini dianggap sebagai teori yang paling abstrak, yang palking mendekati dunia filsafat daripada dunia pendidikan. Siswa dapat dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila ia telah mampu mengerti dan memahami lingkungannya serta dirinya sendiri. Teori belajar humanistik melihat proses dan perilaku belajar dari sudut pandang perilaku si pelajar, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Oleh karenanya, tujuan utama proses pembelajaran dalam teori belajar humanistik sebagaimana yang dituliskan oleh Budiningsih adalah agar siswa dapat mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenali diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu mewujudkan dan mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka masing-masing. Dengan demikian, pembelajaran pada dasarnya adalah untuk memanusiakan siswa sebagai manusia itu sendiri. (Budiningsih, 2005: 68).
Dalam teori humanistik diyakini adanya perasaan, keyakinan, persepsi, dan tujuan-tujuan tertentu sebagai perilaku-perilaku batiniah yang menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Para humanist menekankan agar metode yang digunakan untuk mempelajari manusia dalam konteks aktivitasnya membelajarkan diri adalah life history. Mereka menyarankan agar kita menstudi kekuatan-kekuatan dan kebaikan manusia, menganalisis mental yang sehat, dan mempelajari apa yang dipandang paling baik oleh individu. Kata mereka memahami manusia haruslah sebagai sesuatu totalitas, mereka tidak setuju dengan usaha mereduksi manusia seperti formula S-R yang dianggap kaku dan sempit seperti behaviorisme dan ke dalam proses fisiologis yang mekanistik seperti psikoanalisis. Sebab, manusia dianggap memiliki kemampuan berkembang lebih jauh dari sekedar memenuhi kebutuhan fisik, manusia mampu mengembangkan hal-hal non fisik seperti nilai dan sikap. (Al Rasyidin dan Wahyudin, 2011: 45).
Aliran teori belajar humanistik cenderung disebut sebagai teori belajar yang paling ideal. Hal ini disebabkan setiap individu memiliki perbedaan dan kondisi individual yang sangat kompleks sehingga teori ini menghendaki pemanfaatan bahkan memadukan berbagai teori belajar dari aliran apa pun asal tujuannya yang paling utama adalah memanusiakan manusia dalam bentuk pengembangan potensi-potensi siswa.
Uno juga menuliskan bahwa teori ini sangat menekankan pentingnya ‘’isi’’ dari proses belajar. Dalam praktiknya, teori humanistik terwujud dalam pendekatan yang diusulkan oleh Ausubel (1968) yang disebut “belajar bermakna” atau meaningful learning, (teori Ausebel masuk dalam kategori aliran kognitif). Teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada belajar seperti apa adanya. Karenanya, teori ini  menjadi sangat bersifat eklektik (Uno, 2010: 13). Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk memanusiakan manusia (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai.

D.   Tokoh-Tokoh Humanistik
Tokoh-tokoh yang termasuk dalam aliran teori belajar humanistik di antaranya adalah Abraham H. Maslow, Carl Ransom Rogers, Arthur Combs, Bloom dan Krathwohl, Honey dan Mumford, kolb, dan Habermas.

1.    Abraham H. Maslow
Abraham H. Maslow lahir di pinggiran Brooklyn, New York pada tahun 1908. Orangtuanya adalah imigran Rusia yang berpendidikan rendah. Maslow semasa kecilnya merasa tidak bahagia, selain karena status keluarganya yang minoritas juga karena hubungan tidak dekatnya dengan kedua orangtuanya. Ia tumbuh dewasa tanpa teman dan persahabatan. Hanya buku-buku dan perpustakaanlah yang menjadi temannya semasa kecil. Setelah dewasa ia pernah menjadi guru besar psikologi di Universitas Brandeis dan pernah menjabat sebagai presiden Americant Psychological Association (APA). Maslow meninggal secara mendadak akibat serangan jantung pada 8 Juni 1970.

·        Konsep Dasar Teori Maslow
Perkembangan teori Maslow didasari adanya asumsi bahwa di dalam diri individu terdapat sebuah usaha positif untuk berkembang dan kekuatan untuk melawan dan menolak hambatan yang mungkin berkembang. Setiap individu memiliki perasaan takut untuk berusaha dan berkembang, takut mengambil kesempatan, dan takut kehilangan apa yang sudah dimiliki. Namun, di sisi lain individu juga memiliki dorongan-dorongan untuk menerima diri sendiri, maju ke arah berfungsinya segala kemampuan dan rasa percaya diri, serta diterima oleh dunia luar. Inti dasarnya adalah Maslow berbicara mengenai segenap potensi sebagai modal yang telah dimiliki dan kebutuhan sebagai bentuk keinginan-keinginan yang mendorong individu melakukan berbagai aktivitas.
Teori Maslow yang paling menonjol adalah teori motivasi dan teori mengenai hierarki kebutuhan yang dibagi ke dalam lima tingkatan, yaitu kebutuhan jasmaniah atau faali (physiological needs), kebutuhan akan keselamatan dan rasa aman (safety and security needs), kebutuhan akan rasa memiliki dan rasa cinta kasih (love and belonging needs), kebutuhan akan harga diri (self-esteem) dan kebutuhan aktualisasi diri (self actualization).
Maslow (1968) sebagaimana dikutip Djiwandono berpendapat bahwa kebutuhan untuk tingkat yang paling rendah yaitu tingkat untuk bisa survive atau mempertahankan hidup dan keselamatan/ merasa aman, dan ini merupakan kebutuhan yang paling penting. Jika manusia secara fisik terpenuhi kebutuhannya dan ia merasa aman, mereka akan distimuli untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu kebutuhan akan rasa memiliki dan dicintai beserta pemenuhan akan kebutuhan harga diri dalam kelompok mereka sendiri. Jika kebutuhan ini terpenenuhi maka manusia akan kembali mencari kebutuhan yang lebih tinggi lagi, prestasi intelektual, penghargaan estetis dan akhirnya self actualization. (Djiwandono, 2002: 183). Aktualisasi diri hanya mungkin akan tercapai setelah kebutuhan-kebutuhan yang ada dibawahnya yang lebih rendah telah terpenuhi.

·        Aplikasi Teori Maslow dalam Pembelajaran
Aplikasi teori Maslow dalam pembelajaran menuntut guru untuk memerhatikan pemenuhan hierarki kebutuhan-kebutuhan tersebut, terutama pada individu siswa. Hal ini disebabkan kebutuhan manusia tersebut memiliki implikasi yang penting dan seharusnya diperhatikan juga oleh guru saat proses pembelajaran. Contohnya, mengapa siswa tidak mengerjakan tugas rumah, mengapa siswa tidak tenang dalam mengikuti proses pembelajaran, atau mengapa siswa sama sekali tidak bersemangat dalam mengikuti pembelajaran. Menurut pendapat Maslow, motivasi belajar sisiwa tidak dapat berkembang jika kebutuhan-kebutuhan pokok dan mendasar dari siswa tersebut tidak terpenuhi. Siswa yang datang ke sekolah tanpa sarapan pagi yang cukup atau kurang tidur atau mungkin membawa persoalan yang ada pada keluarga, rasa takut atau cemas, tidak akan dapat belajar dengan baik di kelas, dan siswa tersebut tidak akan berminat untuk mengaktualisasikan diri.

2.      Carl Ransom Rogers
Rogers lahir pada 8 Januari 1902 di Chicago, AS. Latar belakang pendidikannya adalah keagamaan kemudian tertarik dan mendalami bidang psikologi. Bidang psikologi klinis merupakan bidang yang didalaminya di Colombia University dan memperoleh gelar Ph.D pada tahun 1931. Gelar profesor diterima dari Ohio State University tahun 1940. Sejak tahun 1942, Rogers mulai mengembangkan konsep counseling dan psikoterapi dengan menekankan pengembangan model client centered therapy atau terapi yang berpusat pada klien.

·        Prinsip Belajar Humanistik Menurut Rogers
Rogers adalah ahli psikologi humanistik yang mempunyai ide-ide yang mempengaruhi pendidikan dan penerapannya. Melalui  bukunya yang sangat populer  Freedom to Learn and Freedom to Learn for the 80’s, dia menganjurkan pendekatan pendidikan sebaiknya berusaha untuk membuat belajar dan mengajar lebih manusiawi, lebih personal, dan berarti. Pendekatan ini dapat dimengerti dari prinsip-prinsip penting belajar humanistik yang diidentifikasikan sebagai sentral dari filsafat pendidikannya.
Menurut Rogers terdapat dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan experiential (pengalaman atau signifikansi). (Sugihartono dkk, 2007: 120). Tipe belajar experiential learning lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa dalam belajar. Kualitas pembelajaran akan terlihat dari tingkat keterlibatan siswa secara aktif, baik secara personal maupun kelompok, siswalah yang berinisiatif, evaluasi dilakukan oleh siswa itu sendiri, dan adanya efek yang membekas pada diri siswa itu sendiri setelah proses pembelajaran itu berakhir.
Rogers berpendapat bahwa terdapat beberapa prinsip dalam pandangan humanistik yang harus menjadi perhatian guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Terutama terkait denagn bagaimana siswa dapat belajar dengan lebih baik dan proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: keinginan untuk belajar, belajar secara signifikan, belajar tanpa ancaman, belajar atas inisiatif sendiri, dan belajar dan berubah. (Djiwandono, 2002: 185).
1)     Keinginan untuk Belajar (The Desire to Learn)
Manusia secara wajar memiliki keinginan untuk belajar dengan adanya keingintahuan, contohnya keingintahuan seorang anak yang sangat saat ia menjelajah (meng-explore) lingkungannya. Keingintahuan ini menjadi asumsi dasar yang sangat penting dalam pendidikan humanistik. Kelas yang menganut pandangan humanistik akan memberikan kebebasan pada anak untuk memuaskan keingintahuannya, mengikuti minatnya, menemukan diri mereka sendiri. Orientasi ini tentu sangat bertentangan dengan kelas trdadisional, di mana gurulah yang menentukan apa yang harus dipelajari oleh siswa.
2)     Belajar Secara Signifikan (Significant Learning)
Belajar secara signifikan dapat dipahami sebagai belajar yang berarti. Siswa hanya akan belajar dengan cepat apabila materi yang dipelajari mempunyai arti baginya, dirasakan relevan dengan kebutuhan dan tujuannya. Misalnya, seorang siswa akan cepat belajar komputer agar bisa menikmati permainan (game). Ini menunjukkan bahwa belajar mempunyai tujuan dan kenyataannya dimotivasi oleh kebutuhan untuk tahu.
3)     Belajar Tanpa Ancaman (Learning Without Threat)
Bagi Rogers, belajar yang paling baik itu adalah pada lingkungan yang yang bebas dari ancaman. Proses belajar dipertinggi saat siswa dapat menguji kemampuan, mencoba pengalaman baru, bahkan membuat kesalahan tanpa mengalami sakit hati, cemoohan, kritik, celaan dan ancaman.
4)     Belajar Atas Inisiatif Sendiri (Self-initiated Learning)
Rogers dan ahli humanistik lainnya menyebut belajar atas inisiatif sendiri sebagai whole-person learning. Mereka percaya bahwa jika belajar adalah pribadi dan affective, maka belajar akan membuat perasaan memiliki dalam diri siswa. Siswa akan merasa dirinya lebih terlibat dalam belajar, senang akan prestasi, dan lebih termotivasi untuk terus belajar.
5)     Belajar dan Berubah (Learning and Change)
Pada prinsip terakhir, Rogers mengidentifikasi bahwa belajar yang paling bermanfaat adalah belajar tentang proses belajar itu sendiri. Bahwa pengetahuan berada pada keadaan yang terus berubah secara konstan dan itu merupakan fakta hidup. Yang dibutuhkan siswa adalah agar sanggup belajar di lingkungan yang sedang dan akan terus berubah, artinya belajar untuk mempersiapkan siswa hidup dan menghadapi masa depan.

·      Implikasi Pengajaran dari Sudut Pandang Rogers
             Pendekatan pengajaran yang dianjurkan oleh Rogers adalah yang berpusat pada pribadi seseorang (person centered education). Sementara itu strategi yang ditawarkannya adalah dengan memberi siswa berbagai macam sumber yang dapat mendukung dan membimbing pengalaman belajar mereka. Sumber tersebut dapat berupa buku, bimbingan referensi, alat-alat bantu seperti komputer, kalkulator, dan sebagainya. Sumber juga dapat meliputi orang yang ahli, dan guru-guru yang bersedia mengungkapkan pengalaman-pengalamannya dan pengetahuan-pengetahuannya. Strategi lain yang ditawarkan Rogers adalah peer-tutoring, yakni siswa yang mengajar siswa lain. Pengalaman ini berguna untuk keduanya, baik siswa yang mengajar maupun yang diajar.
Akhirnya, Rogers adalah penganjur yang kuat pada penemuan dan penyelidikan, di mana siswa mencari jawaban terhadap pertanyaan yang riil, membuat penemuan autonomus (bebas), dan menjadi pencetus dalam belajar atas inisiatifnya sendiri.

3.    Arthur W. Combs
            Arthur W. Combs (1912-1999) adalah seorang pendidik/ psikolog yang memulai karir akademisnya sebagai profesor ilmu biologi dan psikolog sekolah di sekolah umum di Alliance, Ohio (1935-1941). Ia menerima gelar MA dalam Konseling, sekolah di The Ohio State University (1941) dan diterima di program doktor dalam psikologi klinis pada lembaga di mana Carl Rogers menjabat sebagai guru dan mentor. Dia menyelesaikan gelar doktor pada tahun 1945.
 Arthur W. Combs began his professional career in the public schools of Alliance, Ohio in 1935. To improve his skills in helping students, he sought a doctorate in clinical Psychologi at Ohio state and spent the next ten years operating a psychological clinic and training students and counceling and psychoterapy at syracuse University (Arthur W. Combs, 2006: ii). (Arthur W. Combs memulai karir profesionalnya di sekolah umum Alliance, Ohio pada tahun 1935. Untuk meningkatkan keahliannya dalam membantu siswa, ia mencari gelar doktor di Klinik Psikologi di negara bagian Ohio dan menghabiskan sepuluh tahun berikutnya untuk mengoperasikan klinik dan pelatihan siswa dan konseling psikologis di Syracuse University dan psychoterapy).
Pada tahun 1949 ia terpilih sebagai Presiden Asosiasi Psikologi di New York dan pada tahun yang sama ia turut menulis (dengan Donald L. Snygg) perilaku individu: kerangka kerja baru untuk psikologi. Buku ini menyajikan suatu kerangka komprehensif dan sistematis untuk membuat rasa terbaik dari pengalaman manusia, perilaku dan hubungan antara keduanya.

·        Konsep Dasar Belajar Menurut  Arthur W. Combs
Konsep dasar dalam pembelajaran yang digunakan Combs adalah meaning (makna atau arti). Untuk mengerti tingkah laku manusia, yang terpenting adalah mengerti bagaimana dunia dilihat dari sudut pandangnya. Proses belajar pada siswa akan benar-benar terjadi apabila sesuatu yang dipelajari memiliki arti bagi individu siswa yang bersangkutan. Menurutnya, aktivitas belajar siswa akan melibatkan empat hal, yaitu perasaan, persepsi, keyakinan dan tujuan yang sifatnya inner (dari dalam).
Berdasarkan konsep tersebut dijelaskan bahwa semakin jauh sebuah materi pelajaran atau pengetahuan dari persepsi diri atau keberartiannya bagi siswa, maka akan semakin berkurang pengaruhnya terhadap perilaku siswa dalam bentuk keaktifan dan kesediaannya mengikuti proses pembelajaran. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu, guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan siswa. Combs menyatakan bahwa tingkah laku menyimpang adalah akibat dari yang tidak ingin dilakukan, tetapi dia tahu bahwa dia harus melakukan.

4.    Bloom dan Krathwohl
Bloom dan Krathwohl juga termasuk penganut aliran humanis. Mereka lebih menekankan perhatiannya pada apa yang mesti dikuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar), setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga kawasan yang dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom. Ada tiga kawasan dalam taksonomi Bloom, yaitu:
a)     Kognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu:
1)    Pengetahuan (mengingat, menghafal)
2)    Pemahaman (menginterpretasikan)
3)    Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)
4)    Analisis (menjabarkan suatu konsep)
5)    Sintesis (menggabungkan bagianbagian kosep menjadi suatu konsep yang utuh)
6)    Evaluasi ( membandingkan nilainila, ide, metode, dan sebagainya).
b)     Psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
1)    Peniruan (menirukan gerak)
2)    Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
3)    Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
4)    Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
5)    Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).

c)     Afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
1)     Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
2)     Merespon (aktif berpartisipasi)
3)     Penghargaan (menerima nilainilai, setia kepada nilainilai tertentu)
4)     Pengorganisasian (menghubungkan nilainilai yang dipercayainya)
5)    Pengamalan (menjadikan nilainilai sebagai bagian dari pola hidupnya). (Uno, 2010: 14).

5.     Kolb
Kolb seorang ahli penganut aliran humanistik membagi tahap-tahap belajar menjadi 4, yaitu ;
a)     Tahap pengalaman konkret
Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagai mana adanya. Ia dapat melihat dan merasakannya, dapat menceriterakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang dialaminya. Namun dia belum memiliki kesadaran tentang hakikat dari peristiwa tersebut. Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya, dan belum dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia juga belum dapat memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu. Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seorang pada tahap awal dalam proses belajar.
b)     Tahap pengamatan aktif dan reflektif
Seseorang semakin lama akan semakin mampu melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang dialaminya. Ia mulai berupaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian tersebut. Ia melakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan mengapa hal itu mesti terjadi.
c)     Tahap konseptualisasi
Seseorang sudah mulai berupaya untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi obyek perhatiannya. Berfikir induktif banyak dilakukan untuk merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai contoh peristiwa yang dialaminya.

d)     Tahap eksperimentasi aktif
Seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan kedalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak digunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep dilapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal usul teori atau rumusan, tetapi ia mampu menggunakan teori atau rumusan-rumusan tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, yang belum pernah ia jumpai sebelumnya. (Uno, 2010: 15).
    
6.      Honey dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb, Honey dan Mumford menggolongkan orang yang belajar kedalam empat macam golongan;
a)     Kelompok aktivis
Orangorang yang termasuk kedalam kelompok aktivis adalah mereka yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman baru. Orangorang tipe ini mudah diajak berdialog, memiliki pemikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain, dan mudah percaya pada orang lain. Namun dalam rnelakukan sesuatu tindakan sering kali kurang pertimbangan secara matang, dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri. Dalarn kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada halhal yang sifatnya penemuan-penemuan baru, seperti pemikiran baru, pengalaman baru, dan sebagainya, sehingga metode yang cocok adalah problem solving, brainstorming. Namun mereka akan cepat bosan dengan kegiatankegiatan yang implementasinya memerlukan waktu lama.
b)     Kelompok reflektor
Mereka yang termasuk dalam kelompok reflektor mempunyai kecenderungan yang berlawanan dengan mereka yang tennasuk kelompok aktivis. Dalam melakukan suatu tindakan, orangorang tipe reflektor sangat berhatlhati dan penuh pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan baikburuk dan untungrugi, selalu diperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orangorang demikian tidak mudah dipengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat konservafif.

c)     Kelompok teoris
Lain haInya dengan orangorang tipe teoris, mereka memiliki kecenderungan yang sangat kritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu sering dikembalikan kepada teori dan konsepkonsep atau hukumhukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, kelompok teoris penuh dengan pertimbangan, sangat skeptis dan tidak menyukai halhal yang bersifat spekulatif. Mereka tampak lebih tegas dan mempunyai pendirian yang kuat sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.
d)     Kelompok pragmatis
Berbeda dengan orangorang tipe pragmatis, mereka memiliki sifatsifat yang praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teoriteori, konsepkonsep, dalil-dalil, dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspekaspek praktis, sesuatu yang nyata dan dapat dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat dipraktekkan. Teori, konsep, dalil, memang penting, tetapi Jika itu semua tidak dapat dipraktekkan maka teori, konsep, dalil, dan lainlain itu tidak ada gunanya. Bagi mereka, sesuatu adalah baik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.

7.     Habermas
Tokoh humanis lainnya adalah Habermas. Menurutnya, belajar baru akan terjadi jlka ada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang dimaksud disini adalah lingkungan alam maupun lingkungan sosial, sebab antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Pandangan dari tokoh ini dibagi tiga, antara lain:
a)     Belajar Teknis (technical learning)
Belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan keterampilan apa yang dibutuhkan dan perlu dipelajari agar mereka dapat menguasai dan mengelola lingkungan alam sekitarya dengan baik.

b)     Belajar Praktis (practical learning)
Sedangkan yang dimaksud belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan interaksi yang harmonis antara sesama manusia.
c)     Belajar Emansipatoris (emancipatory learning)
Lain halnya dengan belajar emansipatoris. Belajar emansipatoris menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Dengan pengertian demikian maka dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan serta sikap yang benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut.

E.     Tugas Guru dalam Teori Belajar Humanistik
Dalam kegiatan pembelajaran, humanistik menganggap guru memiliki tugas sebagai fasilitator pembelajaran, dan peserta didik adalah subjek yang difasilitasi untuk membelajarkan diri. Menurut pandangan humanistik, guru/ pendidik bertugas:
§   Membantu memperjelas tujuan pembelajaran
§   Menyadari dan memahami kebutuhan peserta didik
§   Menyediakan sumber belajar yang dibutuhkan
§   Responsif terhadap kebutuhan dan problema peserta didik
§   Mengupayakan partisipasi peserta didik dalam pembelajaran
§   Bersikap terbuka
§   Mendorong peserta didik untuk mengembangkan potensi
§   Berupaya memahami jalan pikiran dan perasaan peserta didik
§   Memberi kebebasan mengemukakan pendapat, menentukn pilihan dan menanggung risiko
§   Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk maju sesuai kecepatannya, dan
§   Mengevaluasi hasil belajar setiap individu peserta didik dan memberikan balikan. (Al Rasyidin dan Wahyudin, 2011: 59).
Senada dengan hal itu, hal yang tidak kalah penting untuk ditempuh oleh guru terutama dalam proses pendahuluan pembelajaran adalah sebagai berikut:
§   Memberikan sugesti-sugesti positif terhadap siswa
§   Memberikan pemaparan tentang manfaat mempelajari materi pelajaran yang akan disampaikan nanti
§   Memunculkan rasa ingin tahu siswa dengan berbagai kegiatan terutama mengaitkannya dengan kehidupan keseharian siswa
§   Menciptakan lingkungan fisik yang positif dan menyenangkan mencakup tata ruang dan kondisi lainnya
§   Menciptakan lingkungan sosio-emosional yang menyenangkan bagi seluruih siswa
§   Meredakan rasa gelisah, takut, dan sebagainya yang mungkin dimiliki siswa sebelum proses pembelajaran dimulai
§   Menghilangkan segala bentuk hambatan yang mungkin muncul dalam proses pembelajaran dan mengajak siswa untuk terlibat aktif sejak awal sampai di akhir pembelajaran. (Muhammad dan Wiyani, 2013: 192).

F.     Permasalahan  dalam Teori Belajar Humanistik
Teori belajar humanistik yang tujuannya adalah untuk memanusiakan manusia ini dianggap masih memiliki kekurangan-kekurangan yang menjadi masalah dalam praktiknya. Sebelum membahas mengenai kekurangan dan masalah teori belajar humanistik, terlebih dahulu akan dibahas mengenai kelebihan teori ini.
Kelebihan dalam teori belajar humanistik, antara lain:
§  Selalu mengedepankan akan hal-hal yang bernuansa demokratis, partisipatif-dialogis dan humanis.
§  Suasana pembelajaran yang saling menghargai, adanya kebebasan berpendapat, serta kebebasan mengungkapkan gagasan.
§  Keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas di sekolah, dan lebih-lebih adalah kemampuan hidup bersama (komunal-bermasyarakat) diantara peserta didik yang tentunya mempunyai pandangan yang berbeda-beda.
Sementara itu, kekurangan-kekurangan yang dianggap sebagai masalah dalam teori belajar humanistik adalah:
§  Teori humanistik terlalu optimistik secara naif dan gagal untuk memberikan pendekatan pada sisi buruk dari sifat alamiah manusia.
§  Teori humanistik dianggap tidak dapat diuji dengan mudah.
§  Banyak konsep dalam psikologi humanistik, seperti misalnya orang yang telah berhasil mengaktualisasikan dirinya, ini dianggap masih buram dan sangat subjektif. Beberapa kritisi menyangkal bahwa konsep ini bisa saja mencerminkan nilai dan idealisme Maslow sendiri.
§  Psikologi humanistik mengalami pembiasan terhadap nilai individualistis.


BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pemaparan dari bab-bab sebelumnya, pemakalah menarik simpulan mengenai teori belajar humanistik sebagai berikut:
ü  Teori belajar humanistik adalah rangkaian terpadu  antar dalil yang membahas mengenai kegiatan untuk melakukan perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan dan sebagainya dalam dimensi dan konteks manusia.
ü  Proses belajar dalam pandangan humanistik harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri.
ü  Siswa dapat dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila ia telah mampu mengerti dan memahami lingkungannya serta dirinya sendiri.
ü  Teori belajar humanistik melihat proses dan perilaku belajar dari sudut pandang perilaku si pelajar (behaver), bukan dari sudut pandang pengamatnya (observer).
ü  Tujuan utama proses pembelajaran dalam teori belajar humanistik adalah agar siswa dapat mengembangkan dirinya, pembelajaran pada dasarnya adalah untuk memanusiakan siswa sebagai manusia itu sendiri (mencapai aktualisasi diri).
ü  Dalam teori humanistik diyakini adanya perasaan, keyakinan, persepsi, dan tujuan-tujuan tertentu sebagai perilaku-perilaku batiniah yang menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain.
ü  Teori belajar humanistik bersifat eklektik, teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk memanusiakan manusia (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai.
ü  Tokoh-tokoh yang termasuk dalam aliran teori belajar humanistik di antaranya adalah Abraham H. Maslow, Carl Ransom Rogers, Arthur Combs, Bloom dan Krathwohl, Honey dan Mumford, kolb, dan Habermas.
ü  Kelebihan dalam teori belajar humanistik yakni demokratis, partisipatif-dialogis dan humanis, suasana pembelajaran yang saling menghargai, adanya kebebasan berpendapat, mengungkapkan gagasan, dan aktifnya peserta didik.
ü  Kekurangan-kekurangan yang dianggap sebagai masalah dalam teori belajar humanistik adalah dianggap terlalu optimistik, gagal untuk memberikan pendekatan pada sisi buruk dari sifat alamiah manusia, tidak mudah untuk diuji, konsep mengenai aktualisasi diri dianggap masih buram, dan mengalami pembiasan terhadap nilai individualitas.
Menanggapi kekurangan-kekurangan yang menjadi masalah dalam teori belajar humanistik, maka saran-saran yang dapat pemakalah berikan adalah:
ü  Diharapkan bagi semua pendidik/ guru agar memahami dan merealisasikan dengan sebaik-baiknya mengenai tugasnya sebagai fasilitator sebagaimana yang telah dijelaskan.

ü  Bersikap terbuka, artinya dalam pelaksanaan pembelajaran diharapkan agar tidak kaku pada satu teori dan satu model pembelajaran saja . Hal ini sesuai dengan teori belajar humanistik itu sendiri yang bagi para ahli dianggap sangat eklektik, yaitu teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk memanusiakan manusia (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pendidikan Islam, By: Indah Dina Pratiwi, dkk.

Bismillah. Dalam rangka membantu memperkaya referensi perkuliahan, buku ini dapat diakses siapa saja. Bagi mahasiswa atau siapa saja silakan klik link berikut untuk melihat dan atau mendownloadnya. Free. Semoga bermanfaat dan menjadi amal jariyah bagi penulis. Aamiin ya Rabb. https://drive.google.com/file/d/1IMc2jzmFSk_3F_gVwQ-vzl-kXc_X-VSd/view?usp=sharing NB: Apabila link tidak bisa langsung diklik, dapat dicopy dulu dan paste di laman pencarian google, lalu klik 'search'

RESENSI BUKU: ISLAM UNTUK DISIPLIN ILMU (IDI) FILSAFAT

PPs UINSU Sejak ilmu pengetahuan memisahkan dirinya dari filsafat sebagai induknya, tersisa dua bidang yang tetap melekat pada filsafat bahkan menjadi inti pembahasannya. Pertama , apa yang dapat diketahui?, dan kedua , apa yang harus dikerjakan? Jauh sebelum agama islam hadir hingga masa kontemporer dewasa ini, permasalahan yang melulu dibahas dalam lapangan kefilsafatan berkisar pada tiga realitas pokok persoalan yang dibahas oleh manusia sehubungan dengan inti pembahasannya tersebut, yaitu persoalan alam, persoalan manusia, dan persoalan tentang Tuhan. Judul buku   Penulis         Penerbit        Tahun terbit  Tebal buku   : : : : Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat Prof. Dr. Zakiah Daradjat, dkk Depag RI. 2001 xvi + 15...