Muslim
Jangan Jadi Dokter Hewan?
Saya
sontak kaget baru-baru ini, ketika membaca berita yang mewartakan ungkapan seorang
ustazah terkenal yang sering tampil di layar kaca, Mamah Dedeh. Siapa yang
tidak kenal beliau? Saya rasa mayoritas masyarakat Indonesia pasti mengenalnya,
baik muslim maupun non-muslim, atau setidaknya tahu yang mana wajahnya, apalagi
kaum ibu-ibu. Saya benar-benar tercengang ketika membaca pernyataannya yang menuai
kontroversi, bahwa menjadi seorang muslim jangan jadi dokter hewan. “Saya
menganjurkan, kalau saya sebagai seorang muslim, jangan jadi dokter hewan”
begitu pernyataannya.
Jujur
saja saya sedih
dan menyayangkan ungkapan si Mamah. Alangkah lebih bijak bila Mamah menggunakan kata-kata lain yang lebih bijak. Saya sendiri, sebagai seorang muslim, kurang setuju dengan pernyataannya, terlepas dari kenyataan bahwa suami saya berprofesi sebagai dokter hewan. Tetntu saya tidak akan memberikan penjelasan mendalam mengenai ini dari sudut pandang kedokteran hewan/ medik veteriner, karena saya tidak punya kapasitas tentang itu. Sepengetahuan saya yang minim ini, agama Islam sangat menganjurkan ummatnya untuk menuntut ilmu. Siapa lagi yang bisa menyangkal hal ini?. Dalam perspektif Imam Al-Ghazali, ilmu itu digolongkan kepada beberapa golongan. Saya akan kupas salah satu penggolongannya saja, (ini cuma salah satu penggolongan ya, belum membahas lebih jauh lagi dari segi penggolongan jenis dan nilainya) bahwa berdasarkan kepentingannya ilmu terbagi menjadi dua:
dan menyayangkan ungkapan si Mamah. Alangkah lebih bijak bila Mamah menggunakan kata-kata lain yang lebih bijak. Saya sendiri, sebagai seorang muslim, kurang setuju dengan pernyataannya, terlepas dari kenyataan bahwa suami saya berprofesi sebagai dokter hewan. Tetntu saya tidak akan memberikan penjelasan mendalam mengenai ini dari sudut pandang kedokteran hewan/ medik veteriner, karena saya tidak punya kapasitas tentang itu. Sepengetahuan saya yang minim ini, agama Islam sangat menganjurkan ummatnya untuk menuntut ilmu. Siapa lagi yang bisa menyangkal hal ini?. Dalam perspektif Imam Al-Ghazali, ilmu itu digolongkan kepada beberapa golongan. Saya akan kupas salah satu penggolongannya saja, (ini cuma salah satu penggolongan ya, belum membahas lebih jauh lagi dari segi penggolongan jenis dan nilainya) bahwa berdasarkan kepentingannya ilmu terbagi menjadi dua:
1)
Ilmu fardhu ‘ain:
wajib dipelajari oleh setiap muslim, laki-laki dan perempuan.
2) Ilmu fardhu
kifayah: tidak wajib dipelajari setiap muslim, namun wajib/harus dipelajari
oleh sebahagian orang muslim, artinya harus ada yang menguasai ilmu tersebut
diantara orang-orang muslim.
Hemat
saya, ilmu kedokteran hewan itu masuk kepada jenis ilmu yang fardhu kifayah. Ya,
artinya harus tetap ada orang-orang muslim yang mempelajarinya, katakanlah sederhananya,
wajib harus ada orang muslim yang menjadi dokter hewan. Mengapa? Apa jadinya
bila orang muslim tidak ada yang menjadi dokter hewan?, siapa yang akan
membantu MUI dan BPOM misalnya, terkait makanan/produk halal/haram? misal daging,
kosmetik, susu, obat-obatan dan lainnya yang bahan dan atau proses produksinya
tidak bisa tidak, melulu berhubungan dengan hewan. Betapa kacaunya dunia
farmasi bila tidak ada dokter hewan. Bagaimana pengujian suatu produk
obat-obatan yang akan dikonsumsi manusia yang sakit bila tidak diuji terlebih
dahulu kepada hewan?, dan siapa yang berwenang atas pengujian itu terhadap
hewan kalau bukan dokter hewan? Belum lagi kita bicara mengenai vaksin. Rabies
apalagi. Bagaimana pula urusan hewan kurban yang menjadi salah satu ibadah
ummat muslim? Ketahuilah, bahwa hewan
kurban yang disembelih setiap tahunnya itu pun, sebelum disembelih harus
terlebih dahulu diperiksa kesehatannya, diambil sampel darahnya, untuk
diketahui layak/tidaknya ia disembelih untuk dikonsumsi manusia. Tugas siapa
lagi ini, kalau bukan dokter hewan?
“Tidak
ada tawar menawar karena najis mugholadoh meski tujuh kali (dibersihkan), satu
kali diantaranya pakai tanah” ini ungkapan mamah ketika menjawab pertanyaan
salah seorang peserta majelisnya terkait hukum najis setiap kali dokter hewan
melakukan operasi anjing. Baiklah kalau yang ini saya tetap setuju, berpegang
pada hukum syariat bahwa najis tetaplah najis dan harus dibersihkan. Saya
setuju yang itu. Saya sangat yakin, para dokter hewan yang muslim pasti
sangat-sangat paham akan hal ini. Namun,
tidaklah serta merta karena alasan ini, lantas umat muslim dilarang berprofesi
sebagai dokter hewan. Apalagi diungkapkan oleh sosok sekaliber Mamah.
Dikhawatirkan, ujung-ujungnya, masyarakat awam menganggap bahwa profesi dokter
hewan adalah profesi haram. Nauzubillah. Sedangkan, sangat banyak kontribusi
mereka pada kehidupan dan keberlangsungan ummat manusia. Semoga kita, sebagai
ummat muslim mampu memahami dinnul islam secara kaffah, wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar