Langsung ke konten utama

ESENSI MANUSIA PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Esensi Manusia dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

            Filsafat pendidikan Islam bertujuan untuk memberikan landasan berpikir mendalam, sistematis, dan universal dalam memahami esensi pendidikan, untuk apa pendidikan, dan bagaimana idealnya pendidikan itu dilaksanakan.[1] Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu langkah awal yang perlu ditempuh adalah memahami manusia sebagai individu (subjek dan objek) yang ada dalam pendidikan itu sendiri. Siapa, bagaimana, dari apa, dan untuk tujuan apakah manusia itu diciptakan?
             Ada empat aliran yang berbicara mengenai apa itu manusia[2], yaitu:
1.    Aliran serba zat, mengatakan bahwa yang ada hanyalah zat atau materi. Zat adalah esensi[3] dari sesuatu. Maka esensi manusia adalah zat atau materi. Proses pertumbuhan manusia dari materi. Dari penggabungan sel telur ibu dengan sel sperma ayah. Adapun ruh, jiwa, pikiran dan perasaan juga berasal dari zat atau materi yaitu sel-sel tubuh.
2.    Aliran serba ruh, berpendapat bahwa esensi segala sesuatu adalah ruh. Esensi manusia juga adalah ruh. Adapun zat itu adalah manifestasi ruh. Materi hanyalah penjelmaan ruh.
3.    Aliran dualisme, menganggap manusia terdiri dari dua substansi, badan dan ruh atau jasmani dan rohani. Kedua substansi ini merupakan unsur asal dan adanya tidak bergantung satu sama lain. Keduanya mempunyai hubungan yang bersifat kausal (saling mempengruhi).
4.    Aliran Eksistensialisme, memandang manusia dari segi eksistensi manusia itu sendiri, dari cara beradanya manusia di dunia ini.
Sementara itu, di dalam al-Qur’an, manusia disebut dengan nama-nama sebagai berikut:[4]
1.    Al-Basyar, manusia dipandang dari pendekatan biologis. Sebagai makhluk biologis berarti manusia terdiri atas unsur materi, sehingga menampilkan sosok dalam bentuk fisik material berupa tubuh kasar (ragawi).
2.    Al-Insan, terbentuk dari kata nasiya yang berarti lupa. Penggunaan kata al-Insan sebagai kata bentukan yang termuat dalam al-Qur’an mengacu pada potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Potensi tersebut berupa potensi untuk bertumbuh dan berkembang secara mental spiritual. Baik potensi yang positif maupun yang negatif.
3.    An-Nas, umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan perempuan, kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa, untuk saling mengenal.
4.    Bani Adam, manusia dikatakan sebagai keturunan Nabi Adam. Merujuk pada konsep persamaan kemanusiaan.
5.      Al-Ins, terbentuk dari akar kata Ins berarti senang, jinak dan harmonis, atau akar kata nisy  berarti lupa, serta akar kata naus berarti pergerakan atau dinamis, homonim dari al-jins dan al-nufur.
6.      Abd Allah, yang berarti abdi atau hamba Allah. Abdu Allah dalam arti dimiliki Allah merupakan makhluk yang memiliki potensi berperasaan dan berkehendak.
7.   Khalifah Allah, bahwa manusia diberi kuasa untuk mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas, dan manusia memiliki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan dan kekeliruan.
Dalam al-Qur’an juga dijelaskan bahwa manusia diciptakan dari unsur-unsur material dan non-material. Karenanya manusia adalah makhluk dwi dimensi. Al-jism (berasal dari tanah; min thin, min shalshalin min hamain masnun, min sulalatin min thin, min turab, min shalshalin kalfakhar) adalah dimensi materialnya dan ruh adalaah dimensi non-materialnya. Jadi manusia adalah kesatuan integral antara al-jism dan al-ruh. Al-jism bersifat fana sementara al-ruh bersifat kekal (ada yang mengekalkannya). Karenanya, al-ruh disebut sebagai esensi atau hakikat kemanusiaan manusia, sebab hakikatnya al-ruh-lah yang memerintahkan al-jism untuk menampilkan suatu perbuatan.[5] Pada dimensi materi/ jism-nya manusia memiliki daya fisik dan daya gerak, sementara itu pada dimensi non-materi/ ruh-nya manusia memiliki daya penalaran (‘aql), daya pengatur/ pengendalian diri (nafs), dan daya pensucian untuk meraih pencerahan diri (qalb).[6]
Proses penciptaan manusia ada dua macam. Pertama, penciptaan secara primordial, yaitu penciptaan Adam a.s. Kedua, proses penciptaan manusia secara umum atau generasi yang diturunkan dari Adam a.s. Pada penciptaan Adam a.s. dijelaskan dalam al-Quran dengan menunjuk al-Khaliq dengan menggunakan dlamir kata tunggal, yakni Aku (tidak ada campur tangan pihak lain, hanya Allah Swt). Sedangkan untuk penciptaan manusia secara umumnya al-Quran menyebutkan kata ganti al-Khaliq dengan menggunakan dlamir berbentuk jamak, yakni Kami (ada keterlibatan pihak lain dalam proses penciptaan manusia, yakni ayah dan ibu, mencakup reproduksi, pengaruh bentuk fisik dan psikis anak).[7]
Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk mengenal Tuhannya (‘arafa rabbah), Di alam ruh, Allah Swt mengambil syahadah /kesaksian manusia akan keesaan-Nya. Syahadah harus diaktualisasikan dalam fungsi penciptaan manusia sebagai abd Allah yang ikhlas. Syahadah juga harus diaktualisasikan dalam tugas penciptannya sebagai khalifah Allah, manusia bertugas sebagai pemimpin dan pengganti Allah untuk melaksanakan titah-Nya dan memakmurkan kehidupan di bumi.[8]
Manusia sebagai makhluk ciptaan, dilengkapi dengan potensi agar dengan potensi tersebut ia dapat mengembangkan dirinya. Namun, ia diikat oleh nilai-nilai yang telah ditentukan oleh penciptanya. Dengan demikian manusia dalam pandangan filsafat pendidikan Islam adalah sebagai makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi kepadanya ditawarkan pilihan nilai terbaik, yaitu nilai Ilahiyat. Manusia makhluk bebas (alternatif) dan sekaligus terikat (tidak bebas nilai).[9] Potensi yang dimiliki manusia secara garis besar terdiri atas empat potensi, yaitu:
1.    Potensi naluriah (hidayat al-Ghariziyat)
2.    Potensi inderawi (hidayat al-Hassiyat)
3.    Potensi akal (hidayat al-aqliyyat)
4.    Potensi keagamaan (hidayat al-diniyyat)
Potensi yang pertama dan kedua adalah potensi manusia sebagai makhluk materi, sedangkan potensi yang ketiga dan keempat adalah potensi manusia sebagai makhluk non-materi.
            Untuk mengembangkan potensi manusia dapat dilakukan dengan pendekatan-pendekatan[10] sebagai berikut:
1.    Pendekatan filosofis, dalam tinjauan filosofis al-Qur’an, manusia adalah makhluk ciptaan yang diprogramkan untuk mengabdi kepada Penciptanya. Dengan demikian eksistensi manusia akan bermakna bila pola hidupnya disesuaikan dengan kehendak Penciptanya.
2.    Pendekatan kronologis, bahwa manusia dipandang sebagai akhluk evolutif, bukan makhluk siap jadi. Dengan demikian pengembangan potensi manusia harus diarahkan secara bertahap.
3.    Pendekatan fungsional, erat kaitannya dengan status manusia sebagai pengabdi yang setia, manusia harus memfungsikan segenap potensinya dengan pola yang telah ditetapkan, segala bentuk penyimpangan akan berakibat buruk bagi dirinya.
4.    Pendekatan sosial, manusia dilihat sebagai makhluk yang memiliki dorongan untuk hidup berkelompok dan bermasyarakat (ukhuwah).
Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa untuk melihat hakikat manusia dapat dilihat dari amal perbuatan atau pekerjaannya.[11]

وقل اعملو ا فسيرى الله عملكم ورسوله والمؤمنون وستردّون الى علم الغيب والشّهادة فسينبّئكم بما كنتم تعملون             
“Dan Katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan’.” (QS 9:105).                                                          Amal perbuatan seorang manusia dapat menentukan arti hidupnya, baik di hadapan Tuhan maupun di hadapan manusia. Pada amal manusia terletak hakikat manusia yang sesungguhnya, bukan hanya pada unsur pokok yang membentuk manusia yakni jasad (materi), dan ruh. Dalam hubungan ini, amal merupakan penjelmaan kesatuan/ totalitas diri manusia dalam perbuatan nyata dari manusia sebagai hamba-Nya dan bertugas sebagai khalifah-Nya di bumi. Dengan demikian pendidikan Islam haruslah memiliki dan merupakan suatu upaya yang mampu mengembangkan segenap potensi manusia secara seimbang antara aspek jism-nya dan ruh-nya. Sehingga tujuan, fungsi dan tugas penciptaannya dapat terealisasikan secara paripurna.




[1]Al Rasyidin, Hand-out Perkuliahan, 2016.
[2]Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam.
[3]Esensi adalah apanya kenyataan, yaitu hakikatnya. Pengertian mengenai esensi mengalami perubahan sesuai dengan konsep penggunaannya, sehingga esensi ialah pada konsepnya sendiri. Menurut Thomas Aquinas, esensi adalah apanya sesuatu yang terlepas dari persoalan apakah sesuatu itu ada atau tidak. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Esensi.
[4]Jalaluddin, Teologi Pendidikan.
[5]Al rasyidin, Falsafah pendidikan Islami: Membangun Kerangka Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan, (Bandung, Citapustaka Media Perintis, 2008)
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8]Ibid.
[9]Jalaluddin, Teologi Pendidikan.
[10]Ibid.
[11]Syahidin, Metode Pendidikan Qurani: Teori dan Aplikasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pendidikan Islam, By: Indah Dina Pratiwi, dkk.

Bismillah. Dalam rangka membantu memperkaya referensi perkuliahan, buku ini dapat diakses siapa saja. Bagi mahasiswa atau siapa saja silakan klik link berikut untuk melihat dan atau mendownloadnya. Free. Semoga bermanfaat dan menjadi amal jariyah bagi penulis. Aamiin ya Rabb. https://drive.google.com/file/d/1IMc2jzmFSk_3F_gVwQ-vzl-kXc_X-VSd/view?usp=sharing NB: Apabila link tidak bisa langsung diklik, dapat dicopy dulu dan paste di laman pencarian google, lalu klik 'search'

TEORI BELAJAR HUMANISTIK

BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri setiap individu manusia sepanjang hidupnya. Proses belajar itu sendiri terjadi karena adanya interaksi antara seorang individu dengan lingkungannya. Oleh sebab itu, belajar dapat terjadi kapan dan dimana saja. Pada awalnya, upaya untuk memahami tentang proses belajar adalah dengan cara tradisional yakni didasarkan pada pengalaman. Selain itu dapat pula didasarkan pada pemahaman filsafat. Dalam hal ini, pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman filsafat idealisme Plato dan realisme Aristoteles. Plato berpendapat bahwa segala pengetahuan itu diwariskan dan merupakan komponen natural, sedangkan Aristoteles sebaliknya, meyakini bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi dan tidak diwariskan (Hegerhahn dan Olson, 2009: 30). Kemudian dalam tahapan perkembangannya, upaya untuk memahami tentang proses belajar lebih mendekatkan diri pada ranah ps...

RESENSI BUKU: ISLAM UNTUK DISIPLIN ILMU (IDI) FILSAFAT

PPs UINSU Sejak ilmu pengetahuan memisahkan dirinya dari filsafat sebagai induknya, tersisa dua bidang yang tetap melekat pada filsafat bahkan menjadi inti pembahasannya. Pertama , apa yang dapat diketahui?, dan kedua , apa yang harus dikerjakan? Jauh sebelum agama islam hadir hingga masa kontemporer dewasa ini, permasalahan yang melulu dibahas dalam lapangan kefilsafatan berkisar pada tiga realitas pokok persoalan yang dibahas oleh manusia sehubungan dengan inti pembahasannya tersebut, yaitu persoalan alam, persoalan manusia, dan persoalan tentang Tuhan. Judul buku   Penulis         Penerbit        Tahun terbit  Tebal buku   : : : : Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat Prof. Dr. Zakiah Daradjat, dkk Depag RI. 2001 xvi + 15...